A. Mountaineering
Mendaki gunung adalah suatu
kegiatan keras, penuh petualangan, membutuhkan keterampilan, kecerdasan,
kekuatan, dan daya juang yang tinggi. Bahaya dan tantangan yang seakan hendak
mengungguli, merupakan daya tarik dari kegiatan ini.
Pada hakekatnya bahaya dan
tantangan tersebut adalah menguji kemampuan dirinya untuk bersekutu dengan alam
yang keras, keberhasilan suatu pendakian yang sukar dan sulit berarti
keunggulan terhadap rasa takut dan kemenangan terhadap perjuangan melawan
dirinya sendiri.
B. PENGERTIAN DAN TUJUAN KEGIATAN
MOUNTAINEERING
– Mountain =
Gunung
– Mountaineer =
Orang yang berkegiatan di gunung
–
Mountaineering = Segala sesuatu yang
berkaitan dengan gunung atau dalam arti yangluas berarti suatu perjalanan yang meliputi
mulai dari hill walking sampai pendakian ke puncak-puncak gunung yang sulit.
Banyak alasan orang melakukan
kegiatan mountaineering namun pada dasarnya keitan itu dilakukan untuk :
1. Mata pencaharian
2. Adat Istiadat
3. Agama /Kepercayaan
4. Ilmu Pengetahuan
5. Petualangan
6. Olahraga
7. Rekreasi
C. TERMONOLOGI GUNUNG
a)
Gunung : Suatu puncak ketinggian dari atas
permukaan laut dan dataran di sekelilingnya.
b)
Pegunungan : Barisan/sekumpulan gunung yang
salingberdekatan.
c)
Bukit : Gunung Yang ketinggianya tidak lebih
dari 600 mdpl
d)
Perbukitan : Barisan/sekumpulan bukit yang
salingberdekatan.
e)
Tebing : Lereng pada dinding gunung yang terjal
f)
Sadel : Pertemuan dua titik pada satu punggungan
g)
Pass : Celah panjang diantara dua punggungan
h)
Col : Celah sempit diantara dua puncak
i)
Plateau : Dataran tinggi diatas daerah
ketinggian
j)
Summit : Puncak
D. SEJARAH SINGKAT
MOUNTAINEERING
Pendakian gunung sebenarnya telah
dilakukan oleh para nenek moyang kita yang dimulai dengan bapak manuasia Nabi
Adam AS yang menjelajahi bukit tursina untuk mencari cintanya Siti Hawa. Siti
Hajar yang telahlintas dari bukit marwah ke bukit Safa ditemani dengansherpa
JIBRIL untuk mencari air bagi ismail yang lagi kehausan. Dan pendakian demi
pendakian hingga saat ini masih terus berlangsung dan kelak (tak lama lagi )
giliran kalian untuk melanjutkan amanah menjaga kelanggengan kemanusian.
a. Sejarah Dunia
1.
1942 : Anthoine de Ville memanjat tebing Mont
Aiguille (2907 m) di pegunungan alpen untuk berburu chamois (Kambing gunung)
2.
1624 : Pastor pastor Jesuit, melintasi
pegunungan himalaya dari gharwal di Iindia ke Tibet menjalankan tugas
misionarisnya
3.
1760 : Professoe de Saussure menawarkan hadiah
besar bagi siapa saja yang dapat menaklukkan puncak mont blanc guna kepentingan
ilmiahnya.
4.
1786 : Puncak tertinggi di pegunungan alpen Mont
Blanc (4807 m) akhirnya dicapai oleh Dr. Michel Paccaro dan Jacquet Balmat.
5.
1852 : Batu pertama jaman keemasan dunia
keemasan di Alpen diletakkan oleh Alfred Wills dalam pendakiannya ke puncak
Wetterhorn (3.708 m), cikal bakal pendakian gunung sebagai olah raga.
6.
1852 : Sir George Everest, akhirnya menentukan
ketinggian puncak tertinggi dunia, dan di abadikan dengan namanya (8.848 m),
orang Nepal menyebut puncak ini dengan nama sagarmatha, orang tibet menyebutnya
chomolungma.
7.
1878 : Clinton Dent (bukan pepsoden) memnjat
tebing Aigullie de dru di perancis yang memicu trend pemanjatan tebing yang
tidak terlalu tinggi tetapi cukup curam dan sulit, banyak orang menganggap
peristiwa ini adalah kelahiran panjat tebing
8.
1895 : AF Mummery orang yang disebut sebagai
bapak pendakian gunung modern hilang di Nanga Parbat (8.125 m), pendakian ini
adalah pendakian pertama puncak di atas ketinggian 8.000 m
9.
1924 : Mallory dan Irvina mencoba lagi mendaki
Everest, keduanya hilang di ketinggian sekitar 8.400 m
10. 1953
: Pada tanggal 29 mei Sir Edmund Hillary dan Sherpa Tenzing Norgay akhirnya
mencapai atap dunia puncak everest.
b. Sejarah Indonesia
1.
1623 : Yan Carstenz adalah orang pertama melihat
adanya pegunungan sangat tinggi, dan tertutup salju di pedalaman irian
2.
1899 : Ekspedisi Belanda pembuat peta di Irian
menemukan kebenaran laporan Yan Carstensz hampir 3 abad sebelumnya tentang “ …
pegunungan yang sangat tinggi, di beberapa tempat tertutup salju!” di
perdalaman Irian. Maka namanya diabadikan sebagai nama puncak yang kemudian
ternyata merupakan puncak gunung tertinggi di Indonesia.
3.
1962 : Puncak Carstenz akhirnya berhasil dicapai
oleh tim pimpinan Heinrich Harrer.
4.
1964 : Beberapa pendaki Jepang dan 3 orang
Indonesia, yaituFred Athaboe, Sudarto dan Sugirin, yang tergabung dalam
Ekspedisi Cendrawasih, berhasil mencapaiPuncak Jaya di Irian. Puncak yang
berhasil didaki itu sempat dianggap Puncak Carstensz, sebelum kemudian
dibuktikan salah.
5.
Puncak Eidenburg, juga di Irian, berhasil di
daki oleh ekspedisi yang dipimpin Philip Temple.
6.
Dua perkumpulan pendaki gunung tertua di
Indonesia lahir : Wanadri di Bandung dan Mapala UI di Jakarta, lalu di susul
oleh perkumpulan perhimpunan pencinta alam lainnya mulai dari, MPA,SISPALA,
KPA, ERNIPALA, MODIPALA dan sebagainya
7.
1972 : Mapala UI, diantaranya adalah Herman O.
Lantang dan Rudy Badil, berhasil mencapai Puncak cartenz. Mereka merupakan
orang-orang sipil pertama dari Indonesia yang mencapai puncak ini.
E. PERSIAPAN DALAM
SEBUAH PERJALANAN
1. Dapat berpikir
secara logis.
Ini adalah elemen yang terpenting
dalam membuat keputusan selama pendakian, dimana cara berpikir seperti ini
lebih banyakmempertimbangkan faktor safety atau keselamatannya.
2. Memiliki
pengetahuan dan keterampilan.
Meliputi pengetahuan tentang medan
( navigasi darat) ,cuaca dan teknik pendakian , pengetahuan tentang alat
pendakian atau pemanjatan dan sebagainya.
3. Dapat
mengkoordinir tubuh kita.
a. koordinasi antara otak dengan
anggota tubuh.
– Haruslah
terdapat keseimbangan antara apa yang dipikirkan di Otak dan apa yang sanggup
dilakukan oleh tubuh.
– Keseimbangan antara emosi dan
kemampuan diri.
– Ketenangan dalam melakukan
tindakan .
b. koordinasi antar anggota
tubuh.
Ialah
keseimbangan dan irama anggota tubuh itu sendiri dalam membuat gerakan-gerakan
atau langkah- langkah ketika berjalan atau diam.
4. kondisi fisik yang
memadai.
Ini dapat dimengerti karena
mendaki gunung termasuk dalamolahraga yang cukup berat . Seringkali berhasil
tidaknya suatu pendakian / pemanjatan bergantung pada kekuatan fisik. Untuk
mempunyai kondisi fisik yang baik dan selalu siap maka jalan satu-satunya
haruslah berlatih.
5. Berdoa.
F.
JENIS PERJALANAN / PENDAKIAN
Mountaineering dalam arti
luas adalah suatu perjalanan, mulai dari hill walking sampai dengan ekspedisi pendakian
ke puncak-puncak yang tinggi dan sulit dengan memakan waktu yang lama, bahkan
sampai berbulan-bulan.
Menurut kegiatan dan jenis medan yang dihadapi,
mountaineering terbagi menjadi tiga bagian :
1.
Wallking
Berjalan tegak, tidak diperlukan
perlengkapan kaki yang serius.
2.
Hill Walking
Hill walking atau yang lebih
dikenal sebagai hiking adalah sebuah kegiatan mendaki daerah perbukitan atau
menjelajah kawasan bukit yang biasanya tidak terlalu tinggi dengan derajat
kemiringan rata-rata di bawah 45 derajat. Dalam hiking tidak dibutuhkan alat
bantu khusus, hanya mengandalkan kedua kaki sebagai media utamanya. Tangan
digunakan sesekali untuk memegang tongkat jelajah sebagai alat bantu. Jadi
hiking ini lebih simpel dan mudah untuk dilakukan.
3.
Climbing
Climbing adalah olah raga
panjat yang dilakukan di tempat yang curam atau tebing. Tebing atau jurang
adalah formasi bebatuan yang menjulang secara vertikal. Tebing terbentuk akibat
dari erosi. Tebing umumnya ditemukan di daerah pantai, pegunungan dan sepanjang
sungai. Tebing umumnya dibentuk oleh bebatuan yang yang tahan terhadap proses
erosi dan cuaca.
Di dalam arti yang
sebenarnya memang climbing itu panjat tebing. Tetapi banyak pula orang
mengartikan bukan hanya panjat saja dalam kegiatan climbing ini melainkan juga
Repling (turun tebing), Pursiking (naik tebing dengan menggunakan tali pursik)
dan lain-lain.
Biasanya orang melakukan pemanjatan tebing ini dilakukan
dengan konsentrasi yang tinggi, kekuatan tangan, kekuatan kaki, keseimbangan
tubuh dijadikan tolak ukur dalam melakukan pemanjatan ini. Panjat tebing bukan
hanya di alam tetapi kita bisa di tebing buatan (woll-climbing).
Dalam divisi climbing ini
sangatlah mengharapkan peran lembaga STTA dalam melancarkan kegiatannya, yaitu
adanya pembuatan woll-climbing. Didalam pembuatan wool-climbing memang
memerlukan dana yang cukup besar. Maka dari itu Palastta mengharapkan kerjasama
dari pihak manapun untuk dapat bekerja sama dalam pembuatan wool-climbing ini. Bentuk
kegiatan climbing ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a.
Rock Climbing
Rock
Climbing adalah olah raga fisik dan mental yang mana selalu membutuhkan
kekuatan, keseimbangan, kecepatan, ledakan-ledakan tenaga yang didukung dengan
kemampuan mental para pelakunya. Ini adalah kegiatan yang sangat berbahaya dan
dibutuhkan pengetahuan dan latihan. Olah raga ini juga menggunakan alat-alat
panjat yang sangat krusial dan rawan, tetapi dengan teknik dan pengetahuan yang
benar, olah raga ini sangat aman untuk dilakukan.
- Scrambling : Dalam
pelaksanaannya, scrambling merupakan kegiatan mendaki gunung ke wilayah-wilayah
dataran tinggi pegunungan (yang lebih tinggi dari bukit) yang kemiringannya
lebih ekstrim (kira-kira di atas 45 derajat). Kalau dalam hiking kaki sebagai
‘alat’ utama maka untuk scrambling selain kaki, tangan sangat dibutuhkan
sebagai penyeimbang atau membantu gerakan mendaki. Karena derajat kemiringan
dataran yang lumayan ekstrim, keseimbangan pendaki perlu dijaga dengan gerakan
tangan yang mencari pegangan. Dalam scrambling, tali sebagai alat bantu mulai
dibutuhkan untuk menjamin pergerakan naik dan keseimbangan tubuh.
–
Technical
Climbing : Pemanjatan pada permukaan tebing yang sulit. Dibutuhkan teknik
khusus dan bantuan peralatan. Jenis ini di bagi dua, yaitu :
Ø Free Climbing: Rute yang dilalui sulit sehingga dibutuhkan tali,
alat-alat dan teknik yang khusus untuk melindungi bila terjatuh . Patut
diperhatikan bahwa alat –alat disini hanya berfungsi sebagai alat- alat
pengaman saja dan bukan sebagai penambah ketinggian.
Ø Artificial Climbing: Tebing hanya
memberikan celah yang sangat tipis atau bahkan tidak ada sehingga penggunaan
tangan dan kaki saja adalah mustahil. Untuk itu pendakian jenis ini sepenuhnya
tergantung kepada perealatan yang juga dipergunakan secara langsung untuk
menambah ketinggian . Dapat dikatakan ketinggian kita dapat terus bertambah
hanya semata-mata karena bantuan alat-alat seperti tangga tali dfan sebagainya.
b. Snow & Ice climbing
Ice
and Snow Climbing adalah olah raga fisik dan mental yang mana selalu
membutuhkan kekuatan, keseimbangan, kecepatan, ledakan-ledakan tenaga yang
didukung dengan kemampuan mental para pelakunya. Ini adalah kegiatan yang
sangat berbahaya dan dibutuhkan pengetahuan dan latihan. Olah raga ini juga
menggunakan alat-alat panjat yang sangat krusial dan rawan, tetapi dengan
teknik dan pengetahuan yang benar, olah raga ini sangat aman untuk dilakukan.
4.
Expedition
Merupakan gabungan dari
semua bentuk pendakian di atas. Waktunya bisa berhari-hari, berminggu-minggu,
bahkan berbulan-bulan. Disamping harus menguasai teknik pendakian dan
pengetahuan tentang peralatan pendakian, juga harus menguasai manajemen
perjalanan, pengaturan makanan, komunikasi, strategi pendakian, dll.
G.
KLASIFIKASI PENDAKIAN
Tingkat kesulitan yang dimiliki
setiap orang berbeda-beda, tergantung dari pengembangan teknik-teknik terbaru.
Mereka yang sering berlatih akan memiliki tingkat kesulitan / grade yang lebih
baik dibandingkan dengan mereka yang baru berlatih.
Klasifikasi pendakian berdasarkan tingkat kesulitan medan
yang dihadapi (berdasarkan Sierra Club) :
Kelas
1
: berjalan tegak, tidak
diperlukan perlengkapan kaki khusus (walking).
Kelas 2 : medan agak sulit, sehingga
perlengkapan kaki yang memadai dan penggunaan tangan sebagai
pembantu keseimbangan sangat dibutuhkan (scrambling).
Kelas 3 : medan semakin sulit, sehingga
dibutuhkan teknik pendakian tertentu, tetapi tali pengaman belum diperlukan (climbing).
Kelas 4 : kesulitan bertambah, dibutuhkan
tali pengaman dan piton untuk anchor/penambat (exposed climbing).
Kelas 5 : rute yang dilalui sulit, namun
peralatan (tali, sling, piton dll), masih berfungsi sebagai alat pengaman
(difficult free climbing).
Kelas 6 : tebing tidak lagi memberikan
pegangan, celah rongga atau gaya geser yang diperlukan untuk memanjat.
Pendakian sepenuhnya bergantung pada peralatan (aid climbing).
H. SISTEM
PENDAKIAN
1. Himalayan System,
adalah sistem pendakian yang
digunakan untuk perjalanan pendakian panjang, memakan waktu berminggu-minggu.
Sistem ini berkembang pada pendakian ke puncak-puncak di pegunungan Himalaya.
Kerjasama kelompok dalam sistem ini terbagi dalam beberapa tempat
peristirahatan (misalnya : base camp, flying camp, dll). Walaupun hanya satu
anggota tim yang berhasil mencapai puncak, sedangkan anggota tim lainnya hanya
sampai di tengah perjalanan, pendakian ini bisa dikatakan berhasil.
2.
Alpine System,
adalah sistem pendakian yang
berkembang di pegunungan Alpen. Tujuannya agar semua pendaki mencapai puncak
bersama-sama. Sistem ini lebih cepat, karena pendaki tidak perlu kembali ke
base camp, perjalanan dilakukan secara bersama-sama dengan cara terus naik dan
membuka flying camp sampai ke puncak.
I. PERSIAPAN
BAGI SEORANG PENDAKI GUNUNG
Untuk menjadi seorang
pendaki gunung yang baik diperlukan beberapa persyaratan antara lain :
1.
Sifat mental.
Seorang pendaki gunung harus
tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan di alam terbuka. Tidak
mudah putus asa dan berani, dalam arti kata sanggup menghadapi tantangan dan
mengatasinya secara bijaksana dan juga berani mengakui keterbatasan kemampuan
yang dimiliki.
2.
Pengetahuan dan keterampilan.
Meliputi pengetahuan tentang
medan, cuaca, teknik-teknik pendakian pengetahuan tentang alat pendakian dan
sebagainya.
3.
Kondisi fisik yang memadai.
Mendaki gunung termasuk olah
raga yang berat, sehingga memerlukan kondisi fisik yang baik. Berhasil tidaknya
suatu pendakian tergantung pada kekuatan fisik. Untuk itu agar kondisi fisik
tetap baik dan siap, kita harus selalu berlatih.
4.
Etika
Harus kita sadari sepenuhnya
bahwa seorang pendaki gunung adalah bagian dari masyarakat yang memiliki
kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang berlaku yang harus kita pegang dengan teguh.
Mendaki gunung tanpa memikirkan keselamatan diri bukanlah sikap yang terpuji,
selain itu kita juga harus menghargai sikap dan pendapat masyarakat tentang
kegiatan mendaki gunung yang selama ini kita lakukan.
j.
bahaya – bahaya dihutan dan gunung
Hutan dan gunung adalah
wilayah berkeliarannya binatang-binatang buas pemangsa yang setiap detik siap
memangsa manusia yang memasuki wilayahnya. Tumbuh-tumbuhan yang lebat saling
berbelit dan rimbunnya dedaunan akan menghambat sinar matahari dan menimbulkan
kegelapan yang segera akan menyesatkan arah perjalanan kita.
Bila kita kelompokan bahaya
di hutan dan gunung dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1.
Bahaya Obyektif
a) Kondisi
Bentuk Permukaan Bumi (Terrain); Apakah Terrain berpemukaan: datar, curam,
patahan-patahan, tonjolan-tonjolan dan gabungan dari beberapa bentuk. Masing-massing
memiliki bahaya sendiri-sendiri. Apakah kondisi permukaan itu terbentuk oleh
tanah padat, gembur, berair, becek, rawa, sungai, pasir, kerikil bulat, krikil
tajam, batuan lepas, batuan padat dan serterusnya. Masing- masing juga
memeiliki sifat-sifat tersendiri yang tentunya memeiliki potensi-potensi
bahaya.
b) Bentuk-bentuk Kehidupan (living Form);
Tetapi
harus dicatat, dalam situasi survival ada tidaknya binatang dan tumbuhan yang
dapat kita manfaatkan juga merupakan problem bagi kita untuk sumber makakan,
shelter, bahan bakar, perlengkapan pengganti dll.
1. Kehidupan
Binatang: Mulai kehidupan Micro organisme yang sederhana hingga
binatang-binatang besar dapat menjadi potensi bahaya. Secara umum potensi itu
adalah :
–
Dapat menimbulkan penyakit.
–
Dapat menularkan penyakit.
–
Beracun bila menyengat, bersentuhan atau menggigit.
–
Beracun bila dimakan.
–
Karena ukurannya besar dapat berbahaya bila menyerang.
–
Binatang besar pemangsa.
–
Minimbulkan/mengeluarkan zat-zat kimia yang membuat sangat tidak nyaman.
2. Tumbuh-tumbuhan
Potensi
bahaya yang dapat ditimbulkan oleh tumbuhan adalah : ‘
–
Kerapatan tumbuhan dapat menghambat dan mencederai kita dalam pergerakan.
–
Kerapatan tumbuhan dapat menghambat jarak dan keleluasaan pandangan
(visibility) sehingga menyulitkan orientasi.
–
Mempunyai duri-duri atau getah beracun yang dapat mencederai kita.
–
Mengandung racun bila dimakan.
c) Iklim
dan Cuaca
Iklim
yang merupakan gambaran umum musim-musim yang terjadi disuatu daerah tertentu
dalam periode waktu satu tahun mungkin lebih mudah doiperkirakan. Tetapi cuaca
yang berkaitan dengan: temperatur, kelembaban dan pergeerakan udara akan lebih
sulit diperkirakan. Ketiga hal itu sangat berkaitan dengan kemampuan tubuh kita
yang mempunyai keterbatasan untuk dapat berfungsi normal. Hal-hal yang dapat
menjadi potensi bahaya dari kondisi cuaca adalah :
1. Temprertur
Tinggi, yang berkaitan debngan terik matahari dapat menyebabkan Heatstroke dan
Sunstroke.
2. Temperature
rendah, basah, angin, dan kombinasinya dapat menyebabkan Hypotermia.
3. Basah terus-menerus dapat menyebabkan bagian
telapak kaki mengalami Water immersion foot (seperti kena kutu air). Akan mudah
lecet dan peluang terinfeksi menjadi lebih besar.
4.
Potensi-potensi bahaya lain yang diakibatkan oleh cuaca misal: angin yang
sangat besar dapat mematahkan batang2 pohon besar yang bisa mencederai kita,
curah hujan yang tinggi dapat menghambat pergerakan dan jarak pandang. Curah
hujan yang sangat extreme mempunyai potensi bahaya tersendiri. Demikian juga
kekeringan yang extreme
d) Ketinggian
Tinggi
rendahnya suatu tempat dari atas permukaan laut, akan berkaitan dengan besarnya
tekanan udara di tempat itu. Disekitar ketinggian sejajar dengan permukaan laut
tekanan udara besarnya kurang lebih 1 Atmosfir (atm), pada 500 Meter Diatas
Permukaan Laut (mdpl) tekanan udaranya hanya kurang lebih 50%nya. Besarnya
tekanan disebabkan massa udara yang lebih besar. Dengan kata lain materi yang
membentuk udara lebih banyak. Makin kecil tekanannya, makin sedikit materi yang
membentuknya. Oksigen yang kita butuhkan ada kurang lebih 20% dari materi yang
membentuk udara. Dengan demikian makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut
makin sedikit jumlah oksigen dari setiap liter yang terhisap paru-paru kita.
Tubuh kita membutuhkan waktu untuk beraklimatisasi dengan kondisi ini.
Kurangnya waktu aklimatisasi dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan tubuh
kita, yaitu apa yang disebut Mountain Sickness, yang bila berlanjut dari
kondisi Hypoxia dapat berkembang menjadi Pulmonaryedema dan atau Cerebraledema.
Bahkan diatas ketinggian yang berkisar mulai diatas 5000 mdpl, tubuh kita tidak
mampu beraklimatisasi secara permanaen. Hanya dalam batasan waktu tertentu
tubuh kita dapat bertahan. Daerah diatas ketinggian itu sering juga disebut
“Death Zone” dimana tidak ada makhluk hidup yang dapat beraklimatisasi
permanent disana. (Can u follow it…?)
e) Besaran Jarak dan Waktu
Besarnya
jarak biasanya berkaitan dengan lamanya waktu tempuh, walau tingkat kesulitan
medan (berkaitan dengankondisi Terrain, Living Form, Iklim dan cuaca,
ketinggian) ikut berpengaruh. Secara sederhana dapat dilihat bahwa makin besar
jarak dan waktu makin rumit rencana perjalan yang harus kita buat. Banyak
masalah- masalah yang harus kita pertimbangkan seperti misalnya : masalah
perbekalan, navigasi, kesehatan, shelter, peralatan, tekanan- tekanan/stress
(fisik dan psikis) yang mungkin dialami dst. Makin rumit rencana perjalanan
yang harus kita pertimbangkan, ada kemungkinan makin besar faktor-faktor
kesalahan yang terjadi. Faktor- faktor kesalahan yang ini dapat berkembang pada
pelaksanaanya menjadi potensi bahaya.
f) Kondisi Akibat/Pengaruh
Yang
dimaksud dengan kondisi akibat atau pengaruh adalah suatu kondisi yang pada
umumnya/biasanya tidak merupakan potensi bahaya, tetapi akibat pengaruh
tertentu menjadikannya sebagai potensi atau bahaya. Beberapa contoh misalnya :
–
Adanya bangkai binatang besar diatas aliran sungai yang sangat jernih dihutan atau digunung yang kita gunakan sebagai sumber
air.
–
Adanya ganggang beracun pada genangan air tetrentu yang kita anggap sebagai
sumber air yang baik.
–
Munculnya gas beracun di wilayah gunung berapi dimana biasanya wilayah tersebut
aman. Hal ini mungkin akibat aktivitas gunung berapi beraktivitas diluar
normalnya.
– Jenis-jenis
ikan tertentu yang biasanya tidak beracun menjadi ikan beracun bila dikonsumsi
akibat adanya kandungan mineral tertentu atau micro organisme tertentu
diperairan habitatnya.
–
Dan contoh lainnya.
g) Kondisi Sosial Budaya
“Lain
padang lain belalangnya, lain lubuk lain pula ikannya”, demikian kata
peribahasa. Setiap daerah memang memiliki adat-istiadat tersendiri. Kesalahan
kita dalam menghargai adat istiadat setempat dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Rasa tidak suka, penolakan terhadap kehadiran kita akan menimbulkan
ketidaknyamanan dan atau rasa tidak aman pada diri kita. Hal ini bila berlanjut
dapat menjadi potensi bahaya yang tidak jarang pula menjadi bahaya. Tidak
jarang pula masyarakat pedalaman yang akan merasa tidak aman bila wilayahnya dimasuki
orang asing. Bagi kita sikap mereka sering kita anggap agresif, yang
sesungguhnya itu adalah manifestasi dari rasa tidak aman itu. Pendekatan yang
cermat perlu kita lakukan agar situasi itu tidak menjadi potensi bahaya.
2.
Bahaya Subyektif
a. Kondisi Kebugaran
(fitness)
Subject
: Berkegiatan di alam terbuka dalam tingkatan tertentu menuntut kebugaran tubuh
pelakunya. Tidak saja sitem peredaran darahnya (cardios culary), metabolisme
tubuh, kekuatan otot-ototnya, tetapi juga daya pertahanan tubuhnya terhadap
perubahan-perubahan cuaca (berkaitan dengan temperatur, kebasahan angin).
Sering juga berkegiatan di gunung dan hutan mengharuskan kita melakukan irama
dan siklus kehidupan yang tidak teratur. Atau setidaknya tidak sebagaimana pada
kehidupan kita sehari-hari. Situasi dan kondisi ini dapat menjadi potensi
bahaya apabila kebugaran tubuh pelaku tidak dapat memenuhi sebagaimana yang
dituntut kegiatan itu.
b. Kondisi Kemampuan Tekhnis
(Technical Skills)
Subyek
: Sebentuk pengetahuan dan keterampilan tekhnis tentu saja dituntut dalam
berkegiatan di gunung dan hutan. Keterampilan untuk dapat bergerak dengan
efisien serta efektif, mengontrol keseimbangan dan irama gerak tubuh serta
beristirahat secara efektif tapi efisien. Hal ini juga harus ditunjang dengan
pengetahuah apa saja, peralatan pembantu yang dibutuhkan secara tepat, serta
penggunaanya secara benar untuk membantunya bergerak atau beristirahat.
Pengetahuan dan keterampilan menjaga kesehatan, kebugaran tubuh dan bagaimana
mengatasi bila tergangu juga dituntut. Tidak mendukungnya kemampuan tekhnis
pelaku, akan menjadi sebentuk potensi bahaya.
c. Kondisi Kemampuan
Kemanusiaan (Human Skills)
Sebentuk
kondisi kemampuan kemanusiaan juga dituntut dalam berkegiatan di alam bebas.
Apa yang sering kita dengar sebagai mental yang kuat dan emosi yang stabil itu
yang dituntut. Tetapi uraian dari mental yang kuat itu sendiri jarang kita
dengar. Pengertian mental itu sendiri adalah bagaimana “sikap berfikir kita
dalam mengontrol aksi gerak tubuh/tindakan kita”. Dengan kata lain bagaimana
kita terhadap sebentuk situasi dan kondisi: Menilai, Menganalisa,
Merasionalisasikannya, Mengambil/Menentukan keputusan, serta Melaksanakan
keputusan itu. Hal-hal diatas terntu saja menuntut sebentuk perilaku positif
manusia. Seperti : Leadership, Judgement, Determination, Integrity,
Patience/Kecermatan, dan seterusnya untuk dapat melaksanakannya dengan baik.
Emosi adalah sebentuk reaksi perasaan yang timbul bila menghadapi situasi dan
kondisi tertentu. Dapat dianggap sebagai suatu kewajaran, tetapi tidak jarang
sesungguhnya tidak bersifat rasional. Rasa Takut, Kesal, Kesepian, Patah
Semangat, Frustasi, adalah contoh-contoh yang dapat berkembang menjadi potensi
bahaya.
d. Kondisi Kemampuan
Pemahaman Lingkungan (Enviromental Skills)
Pamahaman
akan segala bentuk sifat dan karakter dari lingkungan gunung dan hutan dituntut
bagi pelaku yang berkegiatan disana. Segala sifat dan karakter lingkungan yang
dapat menjadi potensi bahaya harus bisa dinilainya; tetapi sifat dan karakter
yanhg dapat dimanfaatkan harus pula dapat dipahaminya. Sifat dan karakter
lingkungan itu bukan dianggap sebagai musuh, tetapi bagaimana ia harus mampu
bernegosiasi dengan segala kemampuan yang dimilinya. Ketidakmampuan memahami
segala karakter dan sifat lingkungan dimana ia berkegiatan akan dapat
menimbulkan potensi bahaya.
3.
Nasib Buruk dan Nasib Baik
segala bentuk bahaya dan
atau potensi bahaya yang pada dasarnya diluar perhitungan ataupun pertimbangan
pelakunya, dan bersifat sama sekali tidak terduga. Umumnya sangat jarang
terjadi. Nasib Buruk akan langsung dirasakan oleh pelaku sebagai potensi bahaya
ataupun bahaya. Nasib Baik bila tidak secara bijak diterima sebagai sebentuk
pengalaman tentang keberuntungan, dapat menjadi sebentuk sikap berfikir yang
dapat menjadi potensi dan atau bahaya disaat mendatang.
Hal utama dari sikap
pendekatan kita terhadap nasib baik dan buruk mungkin yang terbaik adalah
sebagai berikut: Adanya nasib buruk adalah sesuatu yang tak dapat dihindari.
Apabila terjadi pada kita, terimalah sebagai suatu realita bukan dengan reaksi
emosi yang negatif seperti : Kesal, Menyesali, Marah dst. Hal terpenting yang
harus kita lakukan adalah bagaimana kita dapat mengatasinya dengan bijak dan
tepat. Mendapatkan nasib baik harus kita sadari hanya benar-benar sebuah
keberuntungan. Hal ini jangan kita jadikan sandaran untuk tindakan-tindakan
atau kegiatan-kegiatan selanjutnya. Tidak rela menerima adanya nasib buruk dan
tidak menyadari itu hanyalah sebuah keberuntungan, akan menjadi suatu potensi
bahaya bagi kita.
No comments:
Post a Comment